Facebook dan Semangat Kebersamaan (Catatan Menyambut Reuni Akbar Smansa Makassar ’89)

4548_90759657766_792452766_1817150_1459278_nFacebook menjadi “social networking media” yang paling bertanggungjawab atas grafik fluktuatif hubungan antar warga saat ini. Bagi para netters, peselancar internet, walau sudah sangat banyak media serupa namun FB nampaknya menjadi pilihan paling praktis,menguntungkan dan strategis. Ini juga tak lepas dari berkah piranti komunikasi andal seperti handphone atau blackberry.

Disebut memberi dampak karena FB telah menyusun batu bata kenangan sesama, namun tidak sedikit pula merenggangkan tatakan batu itu. “Bahkan ada bangunan sepasang yang diruntuhkan” kata teman saya. Mengerikan!

Namun demikian, coba tengok fakta ini: Beberapa teman lama, bertemu di suatu ruangan yang lapang, saling menanyakan kabar, berpelukan dan nuansa keakraban yang sangat cair. Pertemuan itu, bangunan yang coba ditata-perkuat kembali sejak 20 tahun lalu. Mereka itu adalah alumni sekolah menengah dari satu yang terpandang di Makassar (sepertinya). Atau terpandang maksudnya, berlokasi di poros jalan utama Kota Makassar. Awalnya, melalui FB mereka saling menyapa, berbagi nomor kontak, saling menelpon dan, ini yang lazim dilakukan, saling mengejek tentang betapa “bandit”nya mereka kala itu. Masa-masa SMA.

Tentu saja, kami tidak ingin menjadi korban teknologi, menjadi batu bata yang lantak karena kenangan itu. “Kami ingin menjalin silaturahmi dan masa depan yang mutualistik”. Begitu kira-kira pesan beberapa teman inti, teman sekolah kami yang memandang bahwa jalinan kekerabatan ini harus terus dipupuk.

Denyut dan gairah pertemuan kemudian bermula di Jakarta. Di Jakarta, beberapa kawan menggelar reuni chapter Jakarta. Sangat ramai. Bisa dibayangkan riuh gemuruhnya pertemuan memasuki usia 20 tahun kenangan. Di Makassar juga demikian, kawan-kawan chapter Makassar juga berkumpul. Mereka merapatkan barisan. Merangkai kenangan dan menjalin interaksi. Para alumni mendapuk, beberapa kawan sebagai pionir reuni, tersebutlah Rani Dasayauri, Hasbullah, Ridwan Arif, Irianto Jafar, Zainal Ibrahim, Wira Chaniago dan Riny Wartabone.
Panitia reuni siap beraksi.

Reuni Akbar

Belakangan ini, beberapa alumni sekolah mulai dari SD, SMP hingga perguruan tinggi, getol melaksanakan temu kangen. Sepertinya trend reuni berbanding lurus dengan semakin giatnya interaksi di FB, di group dan di wall-wall anggota. FBlah biangnya. Tidak apa-apa, yang motivasi dan ada sesuatu yang berguna.

Melalui pantia Reuni, para alumni SMA Negeri 1 Makassar, yang telah bertemu di Jakarta dan Makassar nampaknya menyadari bahwa momen Reuni Akbar sangat diperlukan. Ini penting, untuk mempererat jalinan, mencari kemungkinan pengembangan yang bermanfaat. Kawan-kawan bersepakat untuk melaksanakan reuni pasca lebaran tahun ini.

Facebook telah mempertemukan temali kenangan dengan hasrat membangun perkawanan yang mutualistik. Dari beberapa pertemuan pendahuluan, mereka bersepakat untuk menjadikan momentum Reuni Akbar sebagai forum berbagi gagasan.

Pasca lebaran, kawan-kawan akan berjumpa di Makassar. Akan ada pertemuan, perjamuan, wisata keluarga, outbound, ramah tamah, dan banyak lagi. Semoga menjadi titik awal, menggalang kecemerlangan generasi, generasi akhir tahun 80an. Tentu saja dengan melahirkan agenda-agenda konstruktif bagi sekitar.

Remah Kenangan

Musim kemarau di tahun 1986. Saya duduk di belakang Bapak yang sedang menggeber motor Yamaha Enduro warna kuningnya. Suasana sedang panas di Galesong. Saya diantar mengambil ijazah SMP. Bapak marah (tapi kemudian ketawa), saat pengambilan ijazah, saya tidak berani mengambilnya di ruang guru. Bapak kemudian mengambilnya, senyum tersungging ketika melihat NEM saya. *aheum.

“Pilihmako, mau sekolah dimana?”. Katanya. Saya mau sekolah di Makassar kataku.

Ada dua sekolah favorit saat itu, Smada dan Smansa. Untuk beberapa alasan, mereka bersaing menerima siswa dengan NEM terbaik. Saat itu, saya menumpang di rumah keluarga di Jalan Bulukunyi 29. Tepatnya, jualan coto, Coto Baji Minasa, Coto Maros.

Beruntung, setelah mendaftar dan ikut diseleksi diantara murid-murid asal SMP favorit di Makassar dan daerah lainnya, saya lolos di urutan paling buncit. Diterima di Kelas I, satu netral sebelas. Juga kelas paling buncit. Walau beberapa teman di kelas sebenarnya teman berprestasi di sekolahnya. Saya sekelas Ho Gi Hok, Herry, Alex, Andi Anita, Hermin A.Magga, Rais Idris, Deddy Prasetyo. Dan banyak lagi. Saya sebangku dengan Rais Idris, yang belakangan ketemu lagi Fakultas Teknik Unhas. Tentu saja bangga seorang anak SMP Galesong, berada deretan anak-anak SMP asal Makassar yang terkenal maju, semisal anak SMA 6. Smansa Makassar saat itu memang didominasi anak SMP 6. Bravo!

Pengalaman di Kelas I, sungguh “memalukan” saya ternyata susah beradaptasi dengan mata pelajaran “sekolah Makassar”. – juga, susah menghapus okkot – Walau dijagokan di masa SMP namun saya selalu “berdiri” di depan kelas. Jadi ingat guru matematika (Pak Tico) yang selalu memaksa kami berdiri jika tidak bisa menjawab soal. Ibu Habillang yang keras, pak Herman Hading, guru olah raga yang disiplinnya, minta ampun. Kelas kami di lantai dua dan di pojok selatan-barat bangunan sangat mencolok. Dari sana kami memandang riuh rendah suasana upacara bendera, keramaian senior-senior kami, bahkan poros jalan raya Bawakaraeng.

“Tapi, kemudian saya kenal pak Herman dan pak Usman guru olahraga kami, lebih dekat. Rupanya, mereka kerap makan coto di Jl. Bulukunyi. Tempat saya jadi pramusaji hahahaha”

Kelas Satu, saya tinggal menumpang di Jl. Bulukunyi 29 kemudian lanjut di Kompleks Kesehatan Banta-Bantaeng. Kelas II, mondar mandir Jalan Bawakaraeng – Galesong. Bus Damri jadi kendaraan favorit. Setahun pergi-pulang sekolah, lalu saat naik kelas III, mulai kost di Jalan Mannuruki. Kami tinggal bersama sepupu yang sekolah di STM Satu.

Pengalaman di Kelas I dan Kelas II, sangat berkesan, pasalnya kami sekelas dengan siswa brillian. Dua orang dari mereka kelak, Shao Yang dan Zao Shiyang masuk sebagai peraih angka tertinggi angka ijazah dan NEM SMA-nya. Saya sendiri ranking 35 saat kelas I (hahahahahah). Kelas II, rangking 20 dan Kelas III, ranking 15. Lumayan toh?

Tahun-tahun di SMA, penuh dengan kejutan dan warna-warni peristiwa. Saat kelas I, dominasi senior begitu kuat. Tindakan kekerasan pada junior sangat terasa walau saya beruntung tidak pernah “kena tangan”. Saat itu, Zheggy, seorang senior, sempat kami saksikan tepar disodok seseorang.

Selain itu, tahun 88 ada peristiwa hebat saat demonstrasi helm yang merebak kacau. Sekolah kami sempat menjadi target peluru hampa aparat saat mengejar para demonstran.

“Sempat merasakan bagaimana mobil tank, meraja di Bawakaraeng. Kami berlarian, hingga tentara menyapu siswa di Auditorium Sekolah”. Kami blingsatan dan meloncati pagar sekolah.

Pengalaman yang tak terlupakan. Suka duka di SMA tentulah tetap menjadi kenangan pribadi. Tapi, mengenang kebersamaan dengan teman-teman sungguh segala-galanya.

Saat kelas II, saya sebangku Syafaat, dan duduk di belakang Murlina dan Hariyanti Yusuf. Di Kelas III, saya sebangku Irbad Sahabuddin. Saat kost di Mannuruki, saya selalu “diculik” menginap di rumahnya. Teman yang sangat jago, kalau bermain organ dan menyanyikan “Cherry?-Europe”. Teman yang satu ini entah dimana berada. Ingin sekali berjumpa dengannya. Semoga tahu, bahwa akan ada reuni pasca lebaran tahun ini.

Sidrap, 20.08.2009

Cerita dilanjutkan ya, mang tremangs!

Apa yang kawan-kawan ingat pertama kali jika ada yang menanyakan kenangan di masa SMA?

Mungkin jawabnya salah satu dari beberapa kemungkinan berikut: 1. Menjadi penonton kebengalan dan dominasi anak-anak kelas III saat pulang sekolah, 2. Mengenang jumlah siswi kelas II yang didominasi perempuan (dan manis-manis),3. Pengalaman saat upacara yang menegangkan di masa kelas III, karena tidak jarang bagi yang ribut akan dapat “hukuman langsung pay-cash a la Kepsek”, lalu yang ke-4. Kenangan saat acara perpisahaan kelas III.

Tentang pengalaman dan kenangan di sekolah di jantung jalan Bawakaraeng Makassar ini, tentu ada selaksa, banyak hal yang menarik dan membekas, dari urusan seragam sekolah yang terlalu ketat hingga bakso khas Toraja di depan sekolah. I Minggu?

Juga, kantin khas menu pisang goreng plus es sirop di belakang sekolah hingga saat memanjat dinding sekolah bagian timur setelah melewati lelorong warga. Memanjat dinding sekolah “for the first time”. Yang tak terlupa adalah saat demo helm di tahun 1988 yang mengundang puluhan tentara dengan peluru karet. Pakai kendaraan lapis baja pula!

Tentang sekolah tercinta, terkenang beberapa hal, selain posisinya yang strategis juga karena merupakan sekolah relatif tertua di Makassar.

Beberapa alumninya tersebar secara luas dari negeri paling jauh hingga kabupaten di Sulsel. Saat di bekerja di Selayar tahun 1996-2003, beberapa pejabat dan “orang penting” di sana ternyata adalah lulusan SMA Satu. Sesuatu yang tidak disengaja, saat mereka menanyakan asal sekolah saya. Salah satunya adalah Pak Andi Mappagau, sekarang asisten II dan Musytari, kepala bidang di Bappeda Selayar.

Hingga beberapa tahun terakhir, saat bekerja di Palopo tahun 2004-2005 (saya satu tim dengan Shanty Reza Riewpassa), sempat berjumpa dengan beberapa teman saat kelas III, seperti Herry Kecil dan Ferry Rope. Di Bandara SoeTa Jakarta, sempat memandang dari jauh Hermirad, anak fisika dan juga berpapasan (sempat bercengkerama dengan) di Bandara Sultan Hasanuddin dengan salah seorang anak Sos, tinggi-besar-hitam dengan rambut keriting yang dibelah samping kanan. Dia lulusan fakultas hukum Unhas dan bekerja di Pekan Baru, seperti yang diceritakannya. Saya lupa namanya. Ingat gak namanya?

Sekolah kami sebenarnya identik dengan disiplin, namun tidak seluruhnya demikian. Kepala sekolah saat itu, Bapak Rifai Tamri terkenal disiplin dan”keras”. Pada beberapa kali upacara bendera di hari senin pagi, beliau tidak jarang melakukan pengecekan dan mendatangi siswa yang ribut jika sedang berlangsung sesi pengarahan atau prosesi penaikan bendera.

Banyak kawan-kawan yang sempat merasakan “bentakan dan buah tangan” beliau. Salah satu kebiasaan teman-teman (termasuk saya) adalah jongkok jika sedang berada pada barisan belakang. Walau tidak jarang beberapa guru sempat memantau dengan sembunyi-sembunyi. Rani Dasayauri, adalah langganan upacara bendera sebagai pembawa atau penggerek bendera. Diapulalah yang kemudian menjadi ketua OSIS di tahun 1989.

Saya ingat formasi peserta upacara saban senin pagi ini, inspektur upacara berdiri menghadap ke utara,di belakangnya berjejer guru-guru kelas. Para siswa berada di bagian timur menghadap tiang bendera dan membelakangi gedung sekolah. Di utara gedung terdapat lapangan tenis yang nampaknya jarang digunakan.

Di belakang gedung yang sekolah berbatasan tembok sebelah kiri terdapat kantin. Yang saya ingat, yang khas adalah menu ubi dan pisang goreng plus es sirop. Ubi goreng satu, sirop 3 gelas hehehehe.
Saya lupa pengelola kantin ini, tapi sepertinya sepasang suam istri, bujang sekolah. Kantin ini kerap kami kunjungi saat kelas III. Jangan harap rajin ke kantin saat masih kelas I dan II sebab kantin selalu identik dengan Kelas III, yang berkuasa.

Kea rah barat dari lapangan tenis terdapat laboratorium dan mushalla serta ruangan pramuka “Oryza Sativa”. Walau saya bukan siswa aktif organisasi saat itu tetapi membaca denyut sekolah, tidak jarang prestise sekolah datang dari kegiatan seperti Pramuka dan drumband ini.

SMA Satu terkenal karena mempunyai kegiatan ekstrakurikuler yang lengkap dan kreatif serta tentu saja salah satu penyumbang siswa berprestasi di dunia “internasional” dimana banyak menyumbang peserta AFS, program pertukaran pelajar ke luar negeri. Saat itupula tidak jarang senior yang lulus Akabri kerap datang mengunjungi sekolah sekedar menunjukkan status mereka.

Saat duduk di kelas satu, sepertinya manuver kami sangat terbatas, seakan-akan hanya menjadi penonton dari lantai tiga. Mengamati gerak-gerak senior kelas II dan Tiga. Tidak jarang pula beberapa dari kami (utamnya cewek) menjadi incaran para siswa senior yang flamboyan sedang bagi siswa kerap menjadi target jahil para senior. Yang paling menarik adalah saat beberapa senior kelas III menggoda anak kelas I.

Kami yang berada di lantai paling atas kerap kali berteriak “huhhuyyyy….” jika mereka mengganggu teman yang sedang menuju ruang kelasnya. Bintang kelas satu saat itu adalah, Merry. Beberapa tahu lalu sempat melihatnya di daerah Jalan Cendrawasih Makassar. Hayo siapa lagi yang jadi korban?

Saat kelas I kami masuk kelas saat siang hari hingga sore, saat itu saya tinggal di Jalan Bulukunyi, walau lebih sering berangkat ke sekolah dari rumah di Banta-Bantaeng. Menumpang mobil pete-pete jalur veteran, saya turun di perempatan veteran-bawakaraeng. Saat itu biaya sekali jalan, untuk siswa SMA masih seratus rupiah. Untuk menghemat biaya, kerap saya bayar hanya tujuh puluh lima rupiah dan berucap pada sopir, “anak SMA kodong!”. Sempat pula jadi korban ‘palak’ saat menunggu pete-pete di Jalan Veteran.

Mengenang Guru

Saat kelas satu, duh! Saya lupa wali kelasnya. Tapi saat itu guru-guru yang mengajar kami seperti Ibu Habillang (guru fisika), Pak Tico Tanod (guru Matematika), Pak Usman (guru olahraga). Siapa lagi ya? Lupa. Yang saya ingat di kelas I, saya duduk sebangku dengan Rais Idris, di kelas itu ada Makkaraeng, Hermin A. Magga, Andi Anita, Ho Gi Hok, Shao Yang, Shao Soang, Deddy Presetio, Suci Kusumaningrum, Alex(ketua kelas dari SMP 5) yang pernah mendapat bogem mentah dari seorang anak kelas III. Entah apa masalahnya.

Saat kelas II, dikelas II A2-2 wali kelas kami adalah Pak Tajuddin, berkumis tebal. Bagi kami, guru favorit saat itu adalah ibu Erna, guru bahasa Indonesia. Kami menyukai saat beliau mengajar, kerap duduk di atas meja. Guru yang terlihat ‘seksi’ saat memandang kami dengan gaya yang tak lazim.

Di kelas II, siswa perempuan sangat banyak sekali. Beberapa dari mereka saya ketahui kemudian banyak yang lolos ke Fakultas Kedokteran Unhas, seperti Sunarti Abidin, Imelda Lijaya, A. Melda, Andi Purnamanita dan banyak lagi.

Di kelas III, III Bio-4 wali kelasnya adalah Pak Mursida Badulu,guru pelajaran Biologi dan tinggal di perumahan arah Jalan Mannuruki, Gunung Sari. Saya, Herry Purnama, dan Syafaat pernah berkunjung ke rumahnya saat kami praktek tentang “gejala osmosis”.

Ada beberapa pengalaman kelas II, yang sangat berkesan, nama-nama kawan di sini adalah Chandra, Irbad Sahabuddin, Husni, Supriadi, Haedar, A.Melda, Rina, Imelda Lijaya, Liven, Sunarti Abidin, Maryam, Murlina, Yanty, Fasma, Susi Damopoli, siapa lagi ya? Di kelas III, Imran, Deasy Kaligis, Shanty Reza, Rini, Sherly, Adjie, Husni, Nurlela, Viny, Arfa, Herry, Syafaat, Margaretha, Irbad, Maryos Nanulaitta, dan banyak lagi. Di kelas III, kelas kami bersebelahan dengan kelas A3-1. Saya kira Hasbullah Bo’, siswa kelas ini dan juga sekelas dengan Syam yang keriting? Buyung, Udin.

O ya, saat kelas tiga saya ngekost di belakang Kompleks Pelabuhan Alauddin, tepatnya di Jalan Mannuruki II. Tidak banyak cerita dari kawasan pondokan mahasiswa IAIN dan IKIP ini. Kami bertiga di satu kamar sempit dengan dua orang sepupu yang bersekolah di STM satu.
Saat itu tidak lagi naik bus tapi menumpang mobil perumnas – sentral.

Banyak suka duka saat kelas II-III ini, selain pengalaman menyaksikan “kebrutalan” beberapa anak Sos yang kerap berhadap-hadapan dengan anak Fisika, ini karena ada beberapa siswa pindahan yang rupanya kerap “jagoan”. Sumber masalah biasanya dari siswa pindahan ini.

Dari saling pukul di kantin hingga menyaksikan siswa dibopong karena terkena tikaman. Dari perkelahian di koridor sekolah hingga saling seruduk di tangga sekolah. Saya yang memilih (atau memang ditempatkan? ) di jurusan Biologi memang lebih “adem” karena perempuannya lebih banyak (hahahaha).
Pada periode itu, sekolah kami juga kerap menerima mahasiwa yang sedang berpraktek mengajar. Biasanya dari IKIP, dan bisa dibayangkan bentuk gangguan dan gaya penerimaan kami terhadap para mahasiswa itu. Sangat “tidak bersahabat”.

Tapi mereka memang harus kuat mental jika berhadapan dengan anak-anak bengal seperti kami. Mereka harus bersyukur karena telah punya pengalaman mengajar kelas yang kritisnya minta ampun. Banyak dari mereka menjadi grogi dan jika tidak kuat bisa menangis di ruangan.

Di kelas II, beberapa guru yang sangat bersahabat dengan siswa seperti ibu Arifah, guru fisika dan Ibu Albar (saya lupa nama depannya) guru kimia. Masa-masa di kelas II adalah masa praktikum yang menyita banyak energi walau juga sangat menyenangkan.

Saat tidak lagi tinggal di Jl. Bulukunyi, saya ke sekolah dengan menumpang kendaraan umum dari Kampung, dari Galesong. Berangkat ke sekolah jam 11 hingga masuk kelas pukul 1.00 lalu pulang sekolah pukul 04.30?. Menumpang pete-pete hingga Sungguminasa dan menyambungnya dengan naik bus damri bertingkat.

Di kelas II, saat kami masuk kelas sore, ketika anak-anak kelas III sudah pulang, giliran anak kelas II yang bertingkah. Saat itu, aturan sekolah mensyaratkan harus berpakaian putih dengan celana abu-abu dan bersepatu hitam. Aturannya saat ketat, sampai pak Herman Hading kerap melakukan sweeping celana dan sepatu.

Beberapa teman kerap menggunakan celana abu-abu luntur dengan sepatu tak hitam. Saya sempat tergoda untuk menggunakan sepatu eagle biru. Karena dianggap melanggar tidak jarang kami harus dipulangkan. Sekali-dua kali dipulangkan sudah lumrah tapi saat ketiga kalinya, saya sempat merasakan injakan kaki yang kuat dari pak Herman sebelum disuruh pulang ke Galesong, Takalar.

Pada saat kelas II, saat pulang, saya berjalan menuju jalan Sudirman sebelum mencegat pete-pete Sungguminasa. Turun di Pasar Pa’baeng-Baeng dan menunggu mobil Galesong. Bersama beberapa teman, menikmat perjalanan pulang sambil bercanda. Saya ingat beberapa dari mereka adalah Syafaat, Ferryanto Rope dan R. Ayu yang rumahnya di dekat lampu merah.

Menjelang perpisahan dan penerimaan ijazah SMA, bersama Imran, Syafaat, Budiyanto, Herry Kecil, Husni, Adjie, Shanty, “Mejeng”, Jean Parengkuan, Sherly F Bansoe kami berekreasi akhir pekan ke Malino. Menumpang mobil pete-pete dari Sungguminasa setelah sebelumnya singgah di rumah Rini Wartabone menambah logistik. Kami bermalam dan keesokan harinya menikmati hutan pinus, air terjun Malino dan pemandangan indah kembang kota pegunungan ini.

“Jean sempat tidak tahan dengan udara dingin, karenanya harus mendekatkannya dengan kompor”

Saat menikmati hari berikutnya, kami menikmatinya dengan berjalan kami. Tidak banyak kendaraan saat itu. Bersama teman seakan semua menjadi ringan. Menaiki tangga air terjun hingga berlarian di sela-sela pohon pinus.

Kami menginap di salah satu rumah di Jalan Endang, Malino. Saat kami menghabiskan senja sebelum pulang ke Makassar, lagu “Forever Young” dari Alphaville tak henti-henti diputar. …forever young I want to be forever young…do you really want to…

Selamat Memasuki Bulan Suci Ramadhan

Mohon Maaf Lahir dan Batin!

Sungguminasa, 30 Agustus 2009
Kamaruddin “Komar” Azis

About reefberry

orang biasa
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

1 Response to Facebook dan Semangat Kebersamaan (Catatan Menyambut Reuni Akbar Smansa Makassar ’89)

  1. RAIS says:

    mengingatkan masa masa di smansa dulu….

Leave a reply to RAIS Cancel reply